Jumat, 02 Januari 2015

Cold-Case Christianity

Hai, kali ini saya akan sedikit berbagi cerita mengenai sebuah buku yang pernah saya baca, dan menurut saya buku ini cukup keren. Buku yang sempat menggoyahkan iman kristen saya ini menceritakan kisah bagaimana seorang ateis berubah menjadi seorang yang mengenal Tuhan. Judul buku ini adalah "Cold-Case Christianity". Mari disimak...



Cold-Case Christianity, sebuah buku yang ditulis oleh J.Warner Wallace, seorang yang dulunya adalah skeptis dan ateis, memaparkan begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang menuntut adanya fakta dengan pembuktian yang jelas melalui penelusurannya yang hanya bermula dengan rasa penasarannya akan Alkitab. Buku ini menantang kita untuk merenungkan bukti-bukti yang anda ketahui dengan kacamata yang baru. Memaparkan perspektif yang menawan terhadap bukti-bukti kebangkitan Yesus. Ini adalah salah satu cara yang paling seru dan cerdas untuk belajar betapa tangguh dan abadinya kekristenan itu sendiri. 

Ketika masih ateis, Wallace memiliki banyak prasangka yang menodai caranya mengusut kebenaran klain-klaim kekristenan. Wallace dibesarkan dalam generasi Star Treck oleh seorang ayah ateis yang bekerja sebagai polisi dan detektif selama hampir tiga puluh tahun lamanya sebelum akhirnya dia direkrut menjadi seorang polisi. Wallace diyakinkan oleh budaya sekuler yang berkembang pesat, bahwa semua misteri kehidupan nantinya akan dikuak oleh sains, dan dia benar-benar percaya bahwa kita pada akhirnya akan menemukan jawaban yang natural atas segala hal yang kita sangka supranatural.

Ketika masih ateis, Wallace membiarkan asumsi-asumsi naturalisme mencemari caranya memandang bukti-bukti tentang keberadaan Tuhan. Wallace gagal membedakan sains dengan saintisme. Tidak semua aktivitas Allah secara terang-terangan bersifat ajaib. Tuhan tetap berkarya, bahkan di tengah interaksi antara materi yang Ia ciptakan dan hukum alam yang mencerminkan natur-Nya. 

Perjalanan iman Wallace adalah hal yang unik. Dia memutuskan untuk mengusut klaim kekristenan, untuk mengecek apakah mereka dapat bertahan sebelum dia memutuskan untuk menyebut dirinya adalah Kristen. Penyelidikannya menuntun dia untuk memutuskan bahwa Injil memang layak dipercaya. Langkah awal dari perjalanannya menuju kekristenan adalah evaluasi mengenai Injil. Dia menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk memeriksa catatan Injil sama seperti yang dia lakukan terhadap banyak catatan saksi mata dalam kasus kriminal. Dia menggunakan banyak metode untuk membuat keputusan pentuk yang akan mengubah hidupnya selamanya. 

Menguji bukti adalah mengaplikasikan prinsip investigasi pada klaim Perjanjian Baru. Pengujian yang pertama dijelaskan pada bab 11 “Apakah mereka hadir disana?”. Bab 11 ini memberi keterangan tentang asal mula bahasa Semit dari keempat Injil dan bagaimana mereka terbentuk ditengah-tengah budaya Yahudi pada separuh awal abad I,  dan juga memberi keterangan tentang teori alternatif mengenai kepenulisan Injil pada abad I (yang menempatkan Matius di depan Markus) dengan membandingkan  

Setelah melakukan pengujian yang pertama, lalu memberi kesimpulan yang paling masuk akal. Kini kita dapat menerapkan penalaran abduktif saat kita mencoba memnentukan penjelasan mana mengenai waktu penulisan yang paling logis. Injil lolos melewati tes pertama. Kesimpulan paling logis yang bisa ditarik dari bukti-bukti yang ada adalah mereka menulis Injil pada abad I. Apakah ini berarti mereka layak dipercaya? Belum tentu. Ada beberapa hal lagi yang perlu dipertimbangkan, namun keempat Injil ini berhasil melewati ujian pertama. Keterangan mereka ditulis cukup awal dalam sejarah, dan itu menegaskan bahwa para penulis Injil benar-benar ada dan melihat apa yang mereka akui telah mereka lihat. 

Pengujian yang kedua dibahas di bab 12 “Apakah mereka didukung bukti yang kuat?”. Bab 12 ini memberi keterangan referensi-referensi Yahudi Kuno yang memuat tentang Yesus dan tersebar diseluruh Talmud, kemudian memberi keterangan  juga tentang sumber-sumber kuno non-biblikal yang menegaskan keberadaan Yesus, memberi keterangan juga tentang kontribusi arkeologis Perjanjian Baru dan yang terakhir memberi keterangan tentang bukti-bukti arkeologis yang mendukung catatan hari-hari terakhir Yesus.

Kitab Suci orang Kristen bukan sekedar kumpulan pepatah atau firman yang mengatur kehidupan moral, meskipun Perjanjian Baru tentu saja memuat elemen-elemen ini. Alkitab memberitahu kita bahwa sesuatu terjadi di masa lalu dengan cara tertentu, pada waktu tertentu, dan dengan hasil tertentu. Jika catatan itu benar, mereka bukanlah sekedar “legenda” atau “cerita kekanak-kanakan” meskipun didalamnya ada elemen-elemen mukjizat yang sulit diterima oleh kalangan skeptis semacam Wallace. 

Saat akan menentukan apakah Injil didukung oleh bukti-bukti yang masuk akal, kita sekali lagi harus menyusun semua bukti yang telah dihimpun termasuk klaim dari kaum skeptis sendiri. Apakah logis untuk menyimpulkan bahwa Injil didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan memadai? Kesimpulan paling masuk akal yang bisa ditarik dari bukti-bukti ini adalah bahwa Injil sangat bisa dipercaya, apalagi jika mempertimbangkan natur catatan semacam itu. Tidak banyak catatan kuno yang diuji sekritis Injil Perjanjian Baru, dan tidak banyak dokumen lain dari zaman kuno yang diragukan dan ditelisik seberat Injil. 

Kesimpulan bahwa Injil layak dipercaya dan konsisten dengan bukti-bukti lain pada zamannya adalah penjelasan terbaik. Penjelasan ini masuk akal, logis, dan mengena. Penjelasan ini juga mengungguli penjelasan alternatif lainnya. Penjelasan ini memenuhi kriteria yang kita tetapkan untuk penalaran abduktif; kita dapat merasa yakin saat menerima penjelasan yang paling masuk akal. 

Injil lolos melewati ujian kedua. Bukti-bukti mendukung fakta bahwa keempat penulis Injil memang hidup pada abad I, dan klaim-klaim mereka pun konsisten dengan banyak bukti lain yang mendukung. Apakah ini berarti Injil layak dipercaya? Belum, tetapi kita sudah separuh jalan. Injil berhasil melewati dua ujian pertama; kesaksian mereka terbukti disampaikan pada abad I dan klaim-klaim mereka didukung bukti yang kuat. 

Dua pengujian terbukti meloloskan bahwa bukti-bukti yang ada mendukung fakta-fakta tentang Injil. Tak cukup hanya dua bukti saja, karena ini masih separuh jalan. Masih ada dua pengujian bukti lagi yang harus dilakukan. 2 pengujian bukti terakhir akan memperkuat pengujian bukti yang pertama dan yang kedua. Pengujian bukti yang ketiga dibeberkan di bab 13 “Apakah mereka akurat?”

Bab 13 memberikan keterangan tentang tulisan-tulisan murid-murid para rasul, kemudian memberikan keterangan juga tentang sejarah awal kekristenan dan banyaknya tokoh yang berperan dalam “rantai penjagaan” serta memberi keterangan tentang penyebaran catatan-catatan Injil yang ada. 

Waktu, dokumentasi, dan kebohongan adalah 3 hal yang berkaitan satu sama lain. Orang-orang yang mengklaim narasi Alkitab hanyalah fiksi yang sarat kesalahan berasumsi bahwa para penulis Alkitab menulis Injil lama sesudah kejadian yang sesungguhnya berlalu, serta jauh dari lokasi yang mereka ceritakan. Sekalipun mereka didukung oleh bukti yang menguatkan dari sisi arkeologi ataupun bukti internal, mereka mungkin masih tidak akurat dalam menceritakan sejumlah peristiwa.

Darimana kita tahu bahwa naskah-naskah Alkitab yang kita punya sekarang akurat dan bisa dipercaya? Darimana kita tahu bahwa mereka terbebas dari fiksi dan tidak diubah seiring berjalannya waktu? Kita butuh kepastian dalam dua area penting penyidikan. Pertama, kita perlu memastikan bahwa kita tahu apa yang awalnya dikatakan Injil. Kedua, kita perlu tahu apakah masuk akal jika kita percaya bahwa naskah-naskah ini dijaga dengan baik seiring berlalunya waktu. 

Satu cara untuk memastikan benar-tidaknya isi dan natur pernyataan awal saksi mata adalah memeriksa bukti-bukti terkait penyebarannya Perjanjian Baru. Jika kita dapat mencari tahu apa yang dikatakan saksi mata pertama ini kepada murid-muridnya, kita dapat menelusuri isi Injil dari tanggal penulisan resminya hingga salinan paling awal. Salinan tertua Perjanjian Baru yang lengkap dan masih ada hingga kini ditemukan di biara Saint Catherine, Gunung Sinai. 
           
Berdasarkan catatan para murid generasi kedua dari Yohanes, Petrus, dan Paulus, kita dapat meyakini bahwa ajaran-ajaran inti yang tertuang dalam keempat Injil tidak berubah selama dua ribu tahun. Penjelasan pertama, bahwa Injil dan dokumen Perjanjian Baru yang lain ditulis pada abad I dan diajarkan kepada murid-murid para rasul, adalah penjelasan yang paling logis. Penjelasan ini pun sejalan dengan bukti-bukti masa kepenulisan Injil yang diusutnya di bab 11. 

Injil lolos melewati pengujian bukti yang ketiga. Kesimpulan yang paling masuk akal dari bukti-bukti ini adalah para penulis Injil memang hadir pada abad I dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Dengan menyelidiki rantai dan metode penjagaan catatan-catatan ini selama ribuan tahun, kini Wallace dapat menarik kesimpulan logis bahwa keempat Injil juga akurat. Siapkah kita mengklaim mereka layak dipercaya? Hampir. Masih ada satu wilayah pamungkas yang harus kita uji keabsahannya. 

Yang terakhir, pengujian bukti tentang “Apakah mereka bias?’ yang dibahas pada bab terakhir dalam buku ini, bab 14. Bab 14 ini membahas dan memberi keterangan tentang kehidupan dan kematian syahid para rasul, serta memberi keterangan tentang kesimpulan-kesimpulan logis yang dapat ditarik dari pengakuan para rasul. 

Setiap orang menyimpan motif tertentu. Kata “motif” biasanya membuat kita membayangkan seorang penjahat. Ada dua faktor yang diangkat dalam pertanyaan semacam ini: bias dan motif. Apakah para murid berbohong mengenai kebangkitan, seperti yang diklaim oleh Bart Ehrman? Apakah klaim murid-murid berdasarkan ekspetasi ataupun bias rohani? Jika demikian, apa yang sedianya ingin mereka peroleh dari kebohongan nan rumit ini? Apabila para rasul ingin Yesus menjadi Tuhan, kebohongan rumit tak akan mewujudkannya, setidaknya bagi mereka sendiri. 

Kesimpulan paling masuk akal dengan cara menggunakan penalaran abduktif yang dapat menolong kita memilih di antara dua kandidat kesimpulan mengenai bias atau motif yang mungkin dimiliki para saksi mata saat mereka menulis Injil atau menyaksikan apa yang mereka lihat. 

Para rasul tidak berniat jahat, seandainya mereka berbohong pun mereka tidak menarik keuntungan apa-apa dari kebohongan itu. Bahkan kondisi mereka bakal jauh lebih baik jika mereka diam saja. Para penulis Injil lebih mementingkan kehidupan kekal ketimbang harta duniawi. Bukti dari sejarah sekali lagi menunjuang penjelasan pertama, lebih dari penjelasan kedua. Ini menawarkan jawaban yang masuk akal terhadap tantangan yang ditawarkan kaum skeptis. Penjelasan pertama masuk akal, logis dan mengena. 

Pada akhirnya Injil lolos melewati ujian terakhir. Para penulis Injil memang hadir di tempat kejadian, didukung bukti-bukti yang kuat, akurat serta tidak bias. Kini kita dapat dengan yakin menyimpulkan bahwa kesaksian mereka layak dipercaya. Dan kini saatnya mengambil keputusan. 

Wallace mengerti, mengambil keputusan menurut kesimpulan yang paling masuk akan akan mengharuskannya melepaskan semua prasangka naturalisnya. Dia tahu bahwa dia tak kan pernah bisa mengambil lompatan iman. Baginya, keputusan untuk beranjak dari “percaya bahwa” menuju “percaya pada” memerlukan pertimbangan yang logis dan berdasarkan bukti-bukti yang ada. 

Wallace tahu keberatan-keberatannya terhadap Injil selama ini berakar pada mukjizat-mukjizat yang diceritakan di Alkitab. Sesuatu hal yang mustahil dilakukan oleh yang katanya 100% manusia, dan bukan 50% manusia 50% Tuhan. Menjadikan orang lumpuh berjalan, menjadikan orang buta melihat, memberi makan 5000 orang hanya dengan 5 roti dan 2 ikan, mengubah air menjadi anggur bahkan menghidupkan orang mati, adalah mujizat yang sulit dipercaya, namun memang benar adanya. 

Para saksi mata Injil memiliki sesuatu yang sangat penting untuk dikatakan tentang Yesus. Mereka tidak mengorbankan hidup mereka hanya demi pendapat pribadi mereka tentang Tuhan. Mereka rela menyerahkan hiduo mereka karena klaim-klaim mereka memang objektif serta menyangkut hidup dan mati. Mereka pun tahu bahwa Yesus bukan hanya menawarkan sebuah panduan bersikap dan berperilaku. Mereka paham bahwa Yesus adalah “jalan kebenaran dan hidup” dan “tak seorang pun dapat datang kepada Bapa kalau tidak melalui Ia” (Yohanes 14:6)



Semua berubah ketika Wallace beriman kepada Yesus. Saat Wallace mulai memahami kebutuhannya dan karunia yang diberikan-Nya, belas kasihan dan kesabaran Wallace bertambah. Sebagai orang yang telah diampuni, kini Wallace memiliki kemampuan untuk mengampuni. Sukacitanya menular cepat, itu meluap begitu saja dalam semua hal yang dia katakan dan kerjakan.

Kebenaran Yesus mempengaruhi setiap aspek hidupnya karena semangatnya berkobar-kobar untuk belajar lebih banyak tentangNya. Dia mengurangi jam tidur, belajar lebih banyak, lebih rajin bekerja, dan mengasihi orang lain pada level yang benar-benar baru. Wallace pun dikenal sebagi orang Kristen yang vokal. Masuk ke seminari, menjadi pendeta, bahkan mendirikan sebuah gereja kecil. Selama enam belas tahun ini, dia mempelajari catatan-catatan saksi mata, dia semakin yakin pada pesan dan keterandalan mereka. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk mambela dan membagikan kebenaran. 

Ketika Wallace memutuskan untuk mempercayai pengakuan para penulis Injil, dia juga memutuskan untuk menjadi pembela kekristenan. Keputusan kedua ini sama pentingnya dengan yang pertama. Sesungguhnya, setiap kita adalah pakar dalam bidang tertentu. Ada begitu banyak pengalaman hidup yang dapat kita timba sebagai keahlian yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan kaum skeptis. Selain itu, kita dapat mengambil keputusan sadar untuk menjadi case makers Kristen yang lebih baik.

Banyak diantara orang Kristen yang mengabaikan tanggung jawab dalam wilayah ini. Bahkan, mereka tidak menyadari adanya tanggung jawab ini. Selama ini mungkin hanya menjadi orang Kristen yang separuh-separuh. Menurut Petrus, setiap kita harus “siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1 Petrus 3:15). Meskipun hanya beberapa dari kita yang dikaruniai dan dipanggil menjadi penginjil, kita semua dipanggil menjadi case makers. Itulah tanggung jawab sebagai orang Kristen. 

Setiap kita harus memenuhi panggilan Tuhan bagi hidup kita sebagai orang Kristen yang mengambil dua keputusan. Jika anda telah memutuskan untuk percaya pada Injil, ambillah langkah kedua dan putuskanlah untuk membela mereka. Jadilah orang Kristen yang bertanggung jawab; bekerjalah dalam bidang profesi anda, jalanilah hidup dengan setia, bertekunlah dalam kebenaran, serta dengan mantap persiapkan diri anda membela apa yang anda yakini. 

Kehidupan Wallace sebagai orang Kristen langsung melambung begitu dia memutuskan untuk menjadi seorang pembela kekristenan. Tuhan dengan cerdik menggunakan semua pengalamannya sebagai detektif untuk membernya perspektif yang coba dibagikannya dengan kita disetiap halaman buku ini. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar