Hai, kali ini saya akan sedikit berbagi cerita mengenai sebuah buku yang pernah saya baca, dan menurut saya buku ini cukup keren. Buku yang sempat menggoyahkan iman kristen saya ini menceritakan kisah bagaimana seorang ateis berubah menjadi seorang yang mengenal Tuhan. Judul buku ini adalah "Cold-Case Christianity". Mari disimak...
Cold-Case Christianity,
sebuah buku yang ditulis oleh J.Warner Wallace, seorang yang dulunya adalah
skeptis dan ateis, memaparkan begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang menuntut
adanya fakta dengan pembuktian yang jelas melalui penelusurannya yang hanya bermula
dengan rasa penasarannya akan Alkitab. Buku ini menantang kita untuk
merenungkan bukti-bukti yang anda ketahui dengan kacamata yang baru. Memaparkan
perspektif yang menawan terhadap bukti-bukti kebangkitan Yesus. Ini adalah
salah satu cara yang paling seru dan cerdas untuk belajar betapa tangguh dan
abadinya kekristenan itu sendiri.
Ketika masih ateis, Wallace memiliki banyak prasangka
yang menodai caranya mengusut kebenaran klain-klaim kekristenan. Wallace
dibesarkan dalam generasi Star Treck
oleh seorang ayah ateis yang bekerja sebagai polisi dan detektif selama hampir
tiga puluh tahun lamanya sebelum akhirnya dia direkrut menjadi seorang polisi.
Wallace diyakinkan oleh budaya sekuler yang berkembang pesat, bahwa semua
misteri kehidupan nantinya akan dikuak oleh sains, dan dia benar-benar percaya
bahwa kita pada akhirnya akan menemukan jawaban yang natural atas segala hal
yang kita sangka supranatural.
Ketika masih ateis,
Wallace membiarkan asumsi-asumsi naturalisme mencemari caranya memandang bukti-bukti
tentang keberadaan Tuhan. Wallace gagal membedakan sains dengan saintisme.
Tidak semua aktivitas Allah secara terang-terangan bersifat ajaib. Tuhan tetap
berkarya, bahkan di tengah interaksi antara materi yang Ia ciptakan dan hukum
alam yang mencerminkan natur-Nya.
Perjalanan iman Wallace adalah hal yang unik. Dia
memutuskan untuk mengusut klaim kekristenan, untuk mengecek apakah mereka dapat
bertahan sebelum dia memutuskan untuk menyebut dirinya adalah Kristen. Penyelidikannya
menuntun dia untuk memutuskan bahwa Injil memang layak dipercaya. Langkah awal
dari perjalanannya menuju kekristenan adalah evaluasi mengenai Injil. Dia
menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk memeriksa catatan Injil sama seperti
yang dia lakukan terhadap banyak catatan saksi mata dalam kasus kriminal. Dia
menggunakan banyak metode untuk membuat keputusan pentuk yang akan mengubah
hidupnya selamanya.
Menguji bukti adalah
mengaplikasikan prinsip investigasi pada klaim Perjanjian Baru. Pengujian yang
pertama dijelaskan pada bab 11 “Apakah mereka hadir disana?”. Bab 11 ini
memberi keterangan tentang asal mula bahasa Semit dari keempat Injil dan
bagaimana mereka terbentuk ditengah-tengah budaya Yahudi pada separuh awal abad
I, dan juga memberi keterangan tentang
teori alternatif mengenai kepenulisan Injil pada abad I (yang menempatkan
Matius di depan Markus) dengan membandingkan
Setelah melakukan pengujian yang pertama, lalu memberi
kesimpulan yang paling masuk akal. Kini kita dapat menerapkan penalaran
abduktif saat kita mencoba memnentukan penjelasan mana mengenai waktu penulisan
yang paling logis. Injil lolos melewati tes pertama. Kesimpulan paling logis
yang bisa ditarik dari bukti-bukti yang ada adalah mereka menulis Injil pada
abad I. Apakah ini berarti mereka layak dipercaya? Belum tentu. Ada beberapa
hal lagi yang perlu dipertimbangkan, namun keempat Injil ini berhasil melewati
ujian pertama. Keterangan mereka ditulis cukup awal dalam sejarah, dan itu
menegaskan bahwa para penulis Injil benar-benar ada dan melihat apa yang mereka
akui telah mereka lihat.
Pengujian yang kedua dibahas di bab 12 “Apakah mereka
didukung bukti yang kuat?”. Bab 12 ini memberi keterangan referensi-referensi
Yahudi Kuno yang memuat tentang Yesus dan tersebar diseluruh Talmud, kemudian
memberi keterangan juga tentang
sumber-sumber kuno non-biblikal yang menegaskan keberadaan Yesus, memberi
keterangan juga tentang kontribusi arkeologis Perjanjian Baru dan yang terakhir
memberi keterangan tentang bukti-bukti arkeologis yang mendukung catatan
hari-hari terakhir Yesus.
Kitab Suci orang
Kristen bukan sekedar kumpulan pepatah atau firman yang mengatur kehidupan
moral, meskipun Perjanjian Baru tentu saja memuat elemen-elemen ini. Alkitab
memberitahu kita bahwa sesuatu terjadi di masa lalu dengan cara tertentu, pada
waktu tertentu, dan dengan hasil tertentu. Jika catatan itu benar, mereka
bukanlah sekedar “legenda” atau “cerita kekanak-kanakan” meskipun didalamnya
ada elemen-elemen mukjizat yang sulit diterima oleh kalangan skeptis semacam
Wallace.
Saat akan menentukan apakah Injil didukung oleh
bukti-bukti yang masuk akal, kita sekali lagi harus menyusun semua bukti yang
telah dihimpun termasuk klaim dari kaum skeptis sendiri. Apakah logis untuk
menyimpulkan bahwa Injil didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan memadai? Kesimpulan
paling masuk akal yang bisa ditarik dari bukti-bukti ini adalah bahwa Injil
sangat bisa dipercaya, apalagi jika mempertimbangkan natur catatan semacam itu.
Tidak banyak catatan kuno yang diuji sekritis Injil Perjanjian Baru, dan tidak
banyak dokumen lain dari zaman kuno yang diragukan dan ditelisik seberat Injil.
Kesimpulan bahwa Injil layak dipercaya dan konsisten
dengan bukti-bukti lain pada zamannya adalah penjelasan terbaik. Penjelasan ini
masuk akal, logis, dan mengena. Penjelasan ini juga mengungguli penjelasan
alternatif lainnya. Penjelasan ini memenuhi kriteria yang kita tetapkan untuk
penalaran abduktif; kita dapat merasa yakin saat menerima penjelasan yang
paling masuk akal.
Injil lolos melewati ujian kedua. Bukti-bukti mendukung
fakta bahwa keempat penulis Injil memang hidup pada abad I, dan klaim-klaim
mereka pun konsisten dengan banyak bukti lain yang mendukung. Apakah ini
berarti Injil layak dipercaya? Belum, tetapi kita sudah separuh jalan. Injil
berhasil melewati dua ujian pertama; kesaksian mereka terbukti disampaikan pada
abad I dan klaim-klaim mereka didukung bukti yang kuat.
Dua pengujian terbukti meloloskan bahwa bukti-bukti yang
ada mendukung fakta-fakta tentang Injil. Tak cukup hanya dua bukti saja, karena
ini masih separuh jalan. Masih ada dua pengujian bukti lagi yang harus
dilakukan. 2 pengujian bukti terakhir akan memperkuat pengujian bukti yang
pertama dan yang kedua. Pengujian bukti yang ketiga dibeberkan di bab 13
“Apakah mereka akurat?”
Bab 13 memberikan
keterangan tentang tulisan-tulisan murid-murid para rasul, kemudian memberikan
keterangan juga tentang sejarah awal kekristenan dan banyaknya tokoh yang
berperan dalam “rantai penjagaan” serta memberi keterangan tentang penyebaran
catatan-catatan Injil yang ada.
Waktu, dokumentasi, dan kebohongan adalah 3 hal
yang berkaitan satu sama lain. Orang-orang
yang mengklaim narasi Alkitab hanyalah
fiksi yang sarat kesalahan berasumsi bahwa para penulis Alkitab menulis Injil
lama sesudah kejadian yang sesungguhnya berlalu, serta jauh dari lokasi yang
mereka ceritakan. Sekalipun mereka didukung oleh bukti yang menguatkan dari
sisi arkeologi ataupun bukti internal, mereka mungkin masih tidak akurat dalam
menceritakan sejumlah peristiwa.
Darimana kita tahu bahwa naskah-naskah Alkitab yang kita
punya sekarang akurat dan bisa dipercaya? Darimana kita tahu bahwa mereka
terbebas dari fiksi dan tidak diubah seiring berjalannya waktu? Kita butuh
kepastian dalam dua area penting penyidikan. Pertama, kita perlu memastikan
bahwa kita tahu apa yang awalnya dikatakan Injil. Kedua, kita perlu tahu apakah
masuk akal jika kita percaya bahwa naskah-naskah ini dijaga dengan baik seiring
berlalunya waktu.
Satu cara untuk memastikan benar-tidaknya isi dan natur
pernyataan awal saksi mata adalah memeriksa bukti-bukti terkait penyebarannya
Perjanjian Baru. Jika kita dapat mencari tahu apa yang dikatakan saksi mata
pertama ini kepada murid-muridnya, kita dapat menelusuri isi Injil dari tanggal
penulisan resminya hingga salinan paling awal. Salinan tertua Perjanjian Baru
yang lengkap dan masih ada hingga kini ditemukan di biara Saint Catherine,
Gunung Sinai.
Berdasarkan catatan para murid generasi kedua
dari Yohanes, Petrus, dan Paulus, kita dapat
meyakini bahwa ajaran-ajaran inti yang
tertuang dalam keempat Injil tidak berubah selama dua ribu tahun. Penjelasan
pertama, bahwa Injil dan dokumen Perjanjian Baru yang lain ditulis pada abad I
dan diajarkan kepada murid-murid para rasul, adalah penjelasan yang paling
logis. Penjelasan ini pun sejalan dengan bukti-bukti masa kepenulisan Injil
yang diusutnya di bab 11.
Injil lolos melewati pengujian bukti yang ketiga.
Kesimpulan yang paling masuk akal dari bukti-bukti ini adalah para penulis
Injil memang hadir pada abad I dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Dengan
menyelidiki rantai dan metode penjagaan catatan-catatan ini selama ribuan
tahun, kini Wallace dapat menarik kesimpulan logis bahwa keempat Injil juga
akurat. Siapkah kita mengklaim mereka layak dipercaya? Hampir. Masih ada satu
wilayah pamungkas yang harus kita uji keabsahannya.
Yang terakhir, pengujian bukti tentang “Apakah mereka
bias?’ yang dibahas pada bab terakhir dalam buku ini, bab 14. Bab 14 ini
membahas dan memberi keterangan tentang kehidupan dan kematian syahid para
rasul, serta memberi keterangan tentang kesimpulan-kesimpulan logis yang dapat
ditarik dari pengakuan para rasul.
Setiap orang menyimpan
motif tertentu. Kata “motif” biasanya membuat kita membayangkan seorang
penjahat. Ada dua faktor yang diangkat dalam pertanyaan semacam ini: bias dan
motif. Apakah para murid berbohong mengenai kebangkitan, seperti yang diklaim
oleh Bart Ehrman? Apakah klaim murid-murid berdasarkan ekspetasi ataupun bias
rohani? Jika demikian, apa yang sedianya ingin mereka peroleh dari kebohongan
nan rumit ini? Apabila para rasul ingin Yesus menjadi Tuhan, kebohongan rumit
tak akan mewujudkannya, setidaknya bagi mereka sendiri.
Kesimpulan paling masuk akal dengan cara menggunakan
penalaran abduktif yang dapat menolong kita memilih di antara dua kandidat
kesimpulan mengenai bias atau motif yang mungkin dimiliki para saksi mata saat
mereka menulis Injil atau menyaksikan apa yang mereka lihat.
Para rasul tidak berniat jahat, seandainya mereka
berbohong pun mereka tidak menarik keuntungan apa-apa dari kebohongan itu.
Bahkan kondisi mereka bakal jauh lebih baik jika mereka diam saja. Para penulis
Injil lebih mementingkan kehidupan kekal ketimbang harta duniawi. Bukti dari
sejarah sekali lagi menunjuang penjelasan pertama, lebih dari penjelasan kedua.
Ini menawarkan jawaban yang masuk akal terhadap tantangan yang ditawarkan kaum
skeptis. Penjelasan pertama masuk akal, logis dan mengena.
Pada akhirnya Injil lolos melewati ujian terakhir. Para
penulis Injil memang hadir di tempat kejadian, didukung bukti-bukti yang kuat,
akurat serta tidak bias. Kini kita dapat dengan yakin menyimpulkan bahwa
kesaksian mereka layak dipercaya. Dan kini saatnya mengambil keputusan.
Wallace mengerti, mengambil keputusan menurut kesimpulan
yang paling masuk akan akan mengharuskannya melepaskan semua prasangka
naturalisnya. Dia tahu bahwa dia tak kan pernah bisa mengambil lompatan iman.
Baginya, keputusan untuk beranjak dari “percaya bahwa” menuju “percaya pada”
memerlukan pertimbangan yang logis dan berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Wallace tahu keberatan-keberatannya terhadap Injil selama
ini berakar pada mukjizat-mukjizat yang diceritakan di Alkitab. Sesuatu hal
yang mustahil dilakukan oleh yang katanya 100% manusia, dan bukan 50% manusia
50% Tuhan. Menjadikan orang lumpuh berjalan, menjadikan orang buta melihat,
memberi makan 5000 orang hanya dengan 5 roti dan 2 ikan, mengubah air menjadi
anggur bahkan menghidupkan orang mati, adalah mujizat yang sulit dipercaya,
namun memang benar adanya.
Para saksi mata Injil memiliki sesuatu yang sangat
penting untuk dikatakan tentang Yesus. Mereka tidak mengorbankan hidup mereka
hanya demi pendapat pribadi mereka tentang Tuhan. Mereka rela menyerahkan hiduo
mereka karena klaim-klaim mereka memang objektif serta menyangkut hidup dan
mati. Mereka pun tahu bahwa Yesus bukan hanya menawarkan sebuah panduan
bersikap dan berperilaku. Mereka paham bahwa Yesus adalah “jalan kebenaran dan hidup”
dan “tak seorang pun dapat datang kepada Bapa kalau tidak melalui Ia” (Yohanes
14:6)
Semua berubah ketika
Wallace beriman kepada Yesus. Saat Wallace mulai memahami kebutuhannya dan
karunia yang diberikan-Nya, belas kasihan dan kesabaran Wallace bertambah.
Sebagai orang yang telah diampuni, kini Wallace memiliki kemampuan untuk
mengampuni. Sukacitanya menular cepat, itu meluap begitu saja dalam semua hal
yang dia katakan dan kerjakan.
Kebenaran Yesus mempengaruhi setiap aspek hidupnya karena
semangatnya berkobar-kobar untuk belajar lebih banyak tentangNya. Dia
mengurangi jam tidur, belajar lebih banyak, lebih rajin bekerja, dan mengasihi
orang lain pada level yang benar-benar baru. Wallace pun dikenal sebagi orang
Kristen yang vokal. Masuk ke seminari, menjadi pendeta, bahkan mendirikan
sebuah gereja kecil. Selama enam belas tahun ini, dia mempelajari
catatan-catatan saksi mata, dia semakin yakin pada pesan dan keterandalan
mereka. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk mambela dan membagikan
kebenaran.
Ketika Wallace memutuskan untuk mempercayai pengakuan
para penulis Injil, dia juga memutuskan untuk menjadi pembela kekristenan.
Keputusan kedua ini sama pentingnya dengan yang pertama. Sesungguhnya, setiap
kita adalah pakar dalam bidang tertentu. Ada begitu banyak pengalaman hidup
yang dapat kita timba sebagai keahlian yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan
kaum skeptis. Selain itu, kita dapat mengambil keputusan sadar untuk menjadi case makers Kristen yang lebih baik.
Banyak diantara orang Kristen yang mengabaikan tanggung
jawab dalam wilayah ini. Bahkan, mereka tidak menyadari adanya tanggung jawab
ini. Selama ini mungkin hanya menjadi orang Kristen yang separuh-separuh.
Menurut Petrus, setiap kita harus “siap sedialah pada segala waktu untuk
memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan
jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1 Petrus 3:15). Meskipun
hanya beberapa dari kita yang dikaruniai dan dipanggil menjadi penginjil, kita
semua dipanggil menjadi case makers. Itulah tanggung jawab sebagai orang
Kristen.
Setiap kita harus memenuhi panggilan Tuhan bagi hidup
kita sebagai orang Kristen yang mengambil dua keputusan. Jika anda telah
memutuskan untuk percaya pada Injil, ambillah langkah kedua dan putuskanlah
untuk membela mereka. Jadilah orang Kristen yang bertanggung jawab; bekerjalah
dalam bidang profesi anda, jalanilah hidup dengan setia, bertekunlah dalam
kebenaran, serta dengan mantap persiapkan diri anda membela apa yang anda
yakini.
Kehidupan Wallace sebagai orang Kristen langsung
melambung begitu dia memutuskan untuk menjadi seorang pembela kekristenan.
Tuhan dengan cerdik menggunakan semua pengalamannya sebagai detektif untuk
membernya perspektif yang coba dibagikannya dengan kita disetiap halaman buku
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar