Selasa, 04 Agustus 2015

PEREKONOMIAN INDONESIA

OTONOMI DAN MEMBANGUN DAERAH
            Salah satu fenomena paling mencolok dari hubungan antara sistem Pemerintah Daerah (Pemda) dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan: Pemda kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan penting, dan adanya campur tangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap Pemda. Pembangunan di daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar.

            Ketergantungan fiskal terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Ironis, kendati Undang-Undang (UU) telah menggarisbawahi titik berat otonomi pada kabupaten/kota, namun justru kabupaten/kota yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanging provinsi.

 SEJARAH DESENTRALISASI INDONESIA
            Sejarah mencatat bahwa upaua desentralisasi di Indonesia bak ayunan pendulum: pola zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi. Upaya desentralisasi telah dicoba diterapkan pada masa penjajahan Belanda (1900-1940) dan revolusi (1945-1949); diluar periode itu sentralisasi secara administratif, politik, dan fiskal amat terasa (Jaya & Dick, 2001).
            Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah kirisi yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim. Dari rezim ototarian ke rezim yang lebih demokratis setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto, dan sebagai reaksi yang kuat dari kecenderungan sentralisasi kekuasaan dan sumber daya di pemerintahan selama tiga dekade terakhir.
            Banyak provinsi yang kaya dengan sumber daya alam menyatakan ketidakpuasan akan hasil eksploitasi sumber daya alamnya yang sebagian besar digunakan oleh pemerintah pusat. Struktur pemerintahan terpusat telah mengakibatkan kesenjangan regional antara Jakarta aatau Jawa dengan luar Jawa, maupun atara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia (Kuncoro, 2002). Rasa sentimen yang muncul adalah sumbangan yang sangat besar yang diberikan provinsi yang kaya akan sumber daya alam pada pembangunan ekonomi nasional yang tidak sebanding dengan manfaat yang diterima.
            Pergeseran prioritas pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri yang mendukung pertanian, yang tidak disertai dengan pertimbangan spasial, memberikan dampak percepatan pembangunan di satu pihak dan penumpukan konsentrasi manufaktur di pihak lain. Studi yang menganalisis trend aglomerasi dan kluster dalam sektor industri manufaktur Indonesia, 1976-1999, menyatakan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia sejak 1985-1999 telah berdampak pada semakin menguatnya konsentrasi industri secara spasial di daerah-daerah perkotaan di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jabodetabek-Bandunng dan Gerbangkertasusila (Garcia, 2000).
            Upaya deregulasi perdagangan di Indonesia pasca pertengahan 1980-an gencar dilakukan namun ternyaata kebbijakan interverensi juga diterapkan yang lebih menguntungkan Jawa. Fakta ini didukung oleh sebuah setudi yang menunjukkan bahwa rezim interverensi Indonesia (yaitu kebijakan perdagangan dan harga) selama 1987-1995 telahh menguntungkan Pulau Jawa dan memajakki provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa (Garcia, 2000). Dengan kata lain, kebijakan yang membuka diri terhadap persaingan internasional semacam ini telah menimbulkan transfer pendapatan dar daerah yang miskin ke daerah yang kaya. 

REFORMASI STRUKTUR PEMERINTAHAN
Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI
            Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring dengan perubahan konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada perjalanan kehidupan bangsa. Pada pra kemerdekaan, Indonesia dijajah Belanda dan Jepang. Penjajah telah menerapkan desentraliasi yang bersifat sentralistis, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan mereka. Penjajah Belanda menyusun suatu hirarki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada Gubernur Jendral.
            Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan sistem pemerintahan daerah seperti zaman Belanda, dengan perubahan ke dalam bahasa Jepang. Sejak pemerintahan Republik Indonesia, bbeberapa UU tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan dan berlaku silih berganti. Ini dimaksudkan untuk mencari bentuk dan susunan pemerintahan yang sesuai engan situasi dan kondisi, yang lebih cocok dan memenuhi harapan, serta sesuai dengan tuntutan pembangunan. Pendulum desentralisasi dan dekonsentrasi pun bergoyang-goyang mengikuti konfigurasi kekuasaan pada masa itu. 

ANATOMI  KEWENANGAN  PEMERINTAH
            Penataan urusan pemerintahan dimaksudkan untuk memperjelas sekaligus menentukan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan secara proporsional sehingga nantinya prinsip money follows function dan structure follows functions akan betul-betul dapat direalisasikan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintah pusat dengan daerah otonom. Urusan pemerintah dimaksud meliputi :
a.       Politik Luar Negeri     :           mengangkat pejabat diplomatik, menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabaatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri.
b.      Pertahanan                  :           mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya.
c.       Keamanan                   :           mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara.
d.      Moneter                       :           mencetak yang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya
e.       Yustisi                         :           mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakin dan jaksa, mendirikan lembaaga pemasyarakatan.
f.       Agama                         :           menetapkan hari libur agama yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama 

HUBUNGAN APBN DAN APDB
            Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU No.33/2004 pasal 10, Dana Perimbangan terdiri dari:
1)      Dana Bagi Hasil dari PBB, BPHTB, PPh orang pribadi dan Sumber Daya Alam.
2)      Dana Alokasi Umum (DAU)
3)      Dana Alokasi Khusus (DAK)
Hak yang dimiliki oleh daerah yaitu :
1)      Hak untuk memungut pajak berdasarkan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah;
2)      Hak untuk mendapatkan dana perimbangan;
3)      Hak untuk dapat melakukan pinjaman.

Dalam hal konteks kewajiban yaitu:
1)      Daerah harus dapat mengelola dana tersebut secara sinkron dengan kebijakan pusat;
2)      Daerah diharuskan untuk mengelola dana dengan efisien, efektif, accountable, dan transparan;
3)      Daerah harus mempertanggungjawabkan dan melaporkan penggunaan dana.

      MASALAH dan ISU SENTRAL DALAM IMPLEMENTASI OTDA
            Pertama, bergesernya egoisme sektoral menjadi fanatisme daerah. Egoisme sektoral tterjadi karena pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral.
            Kedua, dengan otda, ada tendensi masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam berbagai hal, terutama mengumpulkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Otonomi kemudian diidentikkan dengan automoney. Artinya, otonomi diterjemahkan semata-mata dari meningkatnya pangsa PAD terhadap total APBD.  

Sumber :  Ekonomika Indonesia. 
               Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global. 
               Oleh : Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D
               Penerbit dan Pencetak 
               UPP STIM YKPN Yogyakarta 
               Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 7 Yogyakarta 55581 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar