OTONOMI
DAN MEMBANGUN DAERAH
Salah
satu fenomena paling mencolok dari hubungan antara sistem Pemerintah Daerah
(Pemda) dengan pembangunan adalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap
pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan: Pemda
kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan penting,
dan adanya campur tangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap Pemda.
Pembangunan di daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat
ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat sebagai akibat dari
pembangunan juga semakin besar.
Ketergantungan
fiskal terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
dominannya transfer dari pusat. Ironis, kendati Undang-Undang (UU) telah
menggarisbawahi titik berat otonomi pada kabupaten/kota, namun justru
kabupaten/kota yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi
dibanging provinsi.
Sejarah
mencatat bahwa upaua desentralisasi di Indonesia bak ayunan pendulum: pola
zig-zag terjadi antara desentralisasi dan sentralisasi. Upaya desentralisasi
telah dicoba diterapkan pada masa penjajahan Belanda (1900-1940) dan revolusi
(1945-1949); diluar periode itu sentralisasi secara administratif, politik, dan
fiskal amat terasa (Jaya & Dick, 2001).
Upaya
serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai
di tengah kirisi yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian
rezim. Dari rezim ototarian ke rezim yang lebih demokratis setelah jatuhnya
pemerintahan Soeharto, dan sebagai reaksi yang kuat dari kecenderungan
sentralisasi kekuasaan dan sumber daya di pemerintahan selama tiga dekade
terakhir.
Banyak
provinsi yang kaya dengan sumber daya alam menyatakan ketidakpuasan akan hasil
eksploitasi sumber daya alamnya yang sebagian besar digunakan oleh pemerintah
pusat. Struktur pemerintahan terpusat telah mengakibatkan kesenjangan regional
antara Jakarta aatau Jawa dengan luar Jawa, maupun atara Kawasan Timur
Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia (Kuncoro, 2002). Rasa sentimen yang
muncul adalah sumbangan yang sangat besar yang diberikan provinsi yang kaya
akan sumber daya alam pada pembangunan ekonomi nasional yang tidak sebanding
dengan manfaat yang diterima.
Pergeseran
prioritas pembangunan dari sektor pertanian ke sektor industri yang mendukung
pertanian, yang tidak disertai dengan pertimbangan spasial, memberikan dampak
percepatan pembangunan di satu pihak dan penumpukan konsentrasi manufaktur di
pihak lain. Studi yang menganalisis trend aglomerasi dan kluster dalam sektor
industri manufaktur Indonesia, 1976-1999, menyatakan bahwa kebijakan
liberalisasi perdagangan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia sejak
1985-1999 telah berdampak pada semakin menguatnya konsentrasi industri secara
spasial di daerah-daerah perkotaan di Pulau Jawa, terutama di wilayah
Jabodetabek-Bandunng dan Gerbangkertasusila (Garcia, 2000).
Upaya
deregulasi perdagangan di Indonesia pasca pertengahan 1980-an gencar dilakukan
namun ternyaata kebbijakan interverensi juga diterapkan yang lebih
menguntungkan Jawa. Fakta ini didukung oleh sebuah setudi yang menunjukkan
bahwa rezim interverensi Indonesia (yaitu kebijakan perdagangan dan harga)
selama 1987-1995 telahh menguntungkan Pulau Jawa dan memajakki
provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa (Garcia, 2000). Dengan kata lain,
kebijakan yang membuka diri terhadap persaingan internasional semacam ini telah
menimbulkan transfer pendapatan dar daerah yang miskin ke daerah yang kaya.
REFORMASI
STRUKTUR PEMERINTAHAN
Otonomi
Daerah dalam Kerangka NKRI
Sejarah
mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring
dengan perubahan konstelasi politik yang melekat dan terjadi pada perjalanan
kehidupan bangsa. Pada pra kemerdekaan, Indonesia dijajah Belanda dan Jepang.
Penjajah telah menerapkan desentraliasi yang bersifat sentralistis, birokratis,
dan feodalistis untuk kepentingan mereka. Penjajah Belanda menyusun suatu
hirarki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk
kepada Gubernur Jendral.
Pemerintah
pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan sistem pemerintahan daerah seperti
zaman Belanda, dengan perubahan ke dalam bahasa Jepang. Sejak pemerintahan
Republik Indonesia, bbeberapa UU tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan
dan berlaku silih berganti. Ini dimaksudkan untuk mencari bentuk dan susunan
pemerintahan yang sesuai engan situasi dan kondisi, yang lebih cocok dan
memenuhi harapan, serta sesuai dengan tuntutan pembangunan. Pendulum
desentralisasi dan dekonsentrasi pun bergoyang-goyang mengikuti konfigurasi
kekuasaan pada masa itu.
ANATOMI KEWENANGAN
PEMERINTAH
Penataan
urusan pemerintahan dimaksudkan untuk memperjelas sekaligus menentukan
kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan secara proporsional sehingga
nantinya prinsip money follows function dan
structure follows functions akan
betul-betul dapat direalisasikan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan
pembagian urusan pemerintah pusat dengan daerah otonom. Urusan pemerintah
dimaksud meliputi :
a.
Politik
Luar Negeri : mengangkat pejabat diplomatik, menunjuk warga negara untuk
duduk dalam jabaatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri.
b.
Pertahanan : mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan
damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan
bahaya.
c.
Keamanan : mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan
kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar hukum negara.
d.
Moneter : mencetak yang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan
kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya
e.
Yustisi : mendirikan lembaga peradilan,
mengangkat hakin dan jaksa, mendirikan lembaaga pemasyarakatan.
f.
Agama : menetapkan hari libur agama yang
berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama
HUBUNGAN
APBN DAN APDB
Dana
perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang dialokasikan
kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Menurut UU No.33/2004 pasal 10, Dana Perimbangan terdiri dari:
1)
Dana
Bagi Hasil dari PBB, BPHTB, PPh orang pribadi dan Sumber Daya Alam.
2)
Dana
Alokasi Umum (DAU)
3)
Dana
Alokasi Khusus (DAK)
Hak yang dimiliki oleh daerah yaitu :
1)
Hak
untuk memungut pajak berdasarkan UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah;
2)
Hak
untuk mendapatkan dana perimbangan;
3)
Hak
untuk dapat melakukan pinjaman.
Dalam hal konteks kewajiban yaitu:
1)
Daerah
harus dapat mengelola dana tersebut secara sinkron dengan kebijakan pusat;
2)
Daerah
diharuskan untuk mengelola dana dengan efisien, efektif, accountable, dan
transparan;
3)
Daerah
harus mempertanggungjawabkan dan melaporkan penggunaan dana.
MASALAH
dan ISU SENTRAL DALAM IMPLEMENTASI OTDA
Pertama,
bergesernya egoisme sektoral menjadi fanatisme daerah. Egoisme sektoral
tterjadi karena pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat
sektoral.
Kedua,
dengan otda, ada tendensi masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri
dan bahkan bersaing satu sama lain dalam berbagai hal, terutama mengumpulkan
PAD (Pendapatan Asli Daerah). Otonomi kemudian diidentikkan dengan automoney.
Artinya, otonomi diterjemahkan semata-mata dari meningkatnya pangsa PAD
terhadap total APBD.
Sumber : Ekonomika Indonesia.
Dinamika Lingkungan Bisnis di Tengah Krisis Global.
Oleh : Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D
Penerbit dan Pencetak
UPP STIM YKPN Yogyakarta
Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 7 Yogyakarta 55581
Tidak ada komentar:
Posting Komentar